Content

Computers

Membungkam Sejarah Korban

Hadirnya perubahan politik tahun 1998 belum cukup memberi ruang dan kesempatan yang luas bagi korban. Cita-cita pelurusan sejarah untuk mengingat kembali masa lalu dalam rangka membangun dan meletakkan sejarah bangsa ini secara benar masih jauh dari kenyataan. Tidak sedikit kebijakan negara justru tidak mengambil posisi berbeda dengan sikap politik terdahulu.
Keinginan untuk melakukan pelurusan sejarah dan rekonsiliasi nasional terpaksa harus melewati jalan terjal dan tantangan luar biasa. Dibandingkan dengan Afrika Selatan atau pun Argentina, Indonesia terbukti gagal membentuk Komisi Kebenaran untuk pelurusan sejarah. Phobia atas ancaman kembali komunisme justru terus menguat. Narasi sejarah resmi bangsa belum nampak berpihak kepada korban. Perkembangannya tidak semakin membaik. Sejarah masih sarat dengan berbagai bias kekuasaan.

Tragedi 1965-1966 salah satu kisah dan polemik sejarah Indonesia yang sangat menegangkan. Beberapa sejarawan bahkan secara eksplisit menyebutnya sebagai sejarah yang penuh dengan ketidakpastian. Ia melahirkan beragam klaim penafsiran pandangan mengenai kebenaran fakta sejarah. Tentang siapa saja pihak-pihak yang harus bertanggung jawab menjadi pelaku dan siapa yang menjadi korban masih ada dalam rangking teratas tema kontroversi.
Betapa rumitnya kisah ini untuk dituturkan dan menempatkan episode ini sebagai catatan bangsa yang tidak mudah dilampaui. Bukan saja karena banyaknya versi sejarah yang muncul, tetapi juga karena perdebatannya belum berujung pada tercapainya keadilan bagi korban.

Terlepas dari segala polemik dan kontroversi, fakta peristiwa itu telah menggelar dan menyuguhkan cerita penderitaan korban yang sungguh luar biasa. Terlepas dari perbedaan penghitungan jumlah orang yang dibunuh, dipenjara dan diasingkan, jumlah korban terbilang sangat fantastis. Beberapa ahli dan peneliti sejarah bahkan menafsir angka melebihi jutaan korban. Sebagian besar dari mereka telah didakwa dan diadili tanpa proses hukum yang semestinya. Sebagian mereka yang tersisa, kini masih hidup dalam napas diskriminasi dan peminggiran politik luar biasa.

Meskipun waktu terus bergerak dan generasi mulai berganti, stigmatisasi dan diskriminasi masih bertahan dengan berbagai pola. Kalaupun secara fisik para korban tidak mengalami represi langsung, mereka tetap saja masih berhadapan dengan kecenderungan dan pola tekanan politik yang lain. Dominasi dan represi atas ingatan masa lalu secara psikologis justru menjadi modus pemenjaraan non fisik paling diskriminatif. Korban dibiarkan hidup tetapi tetap saja terbungkam; dibiarkan bernapas tetapi tidak merdeka bersuara. Atas alasan 'bahaya laten' mereka harus diawasi karena kemungkinan bisa bangkit dan bertumbuh kembali.

Dalam praktik sejarah kekuasaan, korban selalu ada dalam posisi rentan. Ia kerap menjadi korban kedua kalinya. Dominasi kekuasaan jarang memberikan ruang untuk dia mencatat sendiri kisah sejarah dengan merdeka. Narasi tentang korban selalu diposisikan di ruang-ruang pinggiran, jauh dari perhatian dan penghormatan negara. Definisinya sering dikaburkan dan didistorsi sehingga sering mengandung rumusan yang abstrak sekaligus absurd. Siapa yang korban dan siapa yang menjadi penyebab korban terus direlatifkan sedemikian rupa sehingga semakin tidak jelas di mana batasannya. Secara realitas korban kemudian ditiadakan dan sedemikian rupa.
Penghilangan pengertian korban adalah cara untuk melarikan diri dari tanggung jawab. Di saat-saat yang lain korban diangkat dan diadakan sekadar sebagai jargon dan komoditas politik. Praktik semacam ini mudah ditemukan di saat-saat para elit kekuasaan membangun legitimasi dalam pertarungan-pertarungan politik semacam perhelatan pemilihan umum. Sedemikian leluasanya bahasa kekuasaan sehingga mampu mendefinisikan korban menjadi pengertian-pengertian yang mengapung dan lepas dari hakikat keberadaannya yang mendasar.

Namun demikian, sejarah korban bukanlah perjalanan mati dan berhenti dalam ruang kosong yang stabil. Berhadapan dengan dialektika sejarah, korban sebenarnya mempunyai beragam kreatifitas hidup, pandangan, interpretasi dan nilai hidup yang unik. Berhadapan dengan belenggu-belenggu kekuasaan yang dihadapinya, kreatifitas ini sering muncul, seketat apapun pengawasan itu. Pada posisi tertentu menyerupai tradisi subaltern. Korban mempunyai cara tersendiri untuk bertahan hidup dan keluar dari dominasi stigma itu.
Kontingensi persinggungan antara kekuasaan yang memanifestasikan dirinya dan sikap kreatifitas korban berhadapan dengan represi ingatan adalah satu hal yang saat ini terus bergulir dengan segala dinamikanya.

Tragedi bangsa pada 1965 dan episode sesudahnya adalah salah satu contoh tentang kurun waktu sejarah paling kabur dan gelap. Tahun yang menjadi awal berkuasanya rezim baru yang kontroversial. Tahun dengan fenomena perubahan kebijakan yang sangat drastis.
Tahun-tahun penuh harapan bagi sebagian masyarakat dan sekaligus menyimpan kekecewaan tak terbendung dari sebagian yang lain. Awal sistem politik yang menghamparkan kemenangan dan sekaligus kekalahan. Musim semi politik bagi Indonesia yang menyeret kisah paling dramatis. Kurun waktu yang menjadi titik pembalikan sejarah politik Indonesia sekaligus merupakan rentang sejarah dengan tumpukan jutaan korban.
Kemenangan sebuah rezim yang melahirkan berbagai dikotomi biner tentang 'pahlawan' dan 'para pemberontak', tentang 'yang suci' dan 'yang biadab', tentang 'kita' dan 'mereka', tentang 'yang terpuji' dan 'yang terkutuk' dan tentang “yang berhak” dan “yang tidak pantas” hidup dalam bumi bangsa ini. Sebuah rezim dengan sekian nalar prasangka yang membelah keragaman, persaudaraan, dan kultus saling menghargai walaupun terselimuti dengan jargon kesatuan dan integrasi bangsa.

Guratan wajah suram itu belum surut. Pelaku kejahatan tetap melenggang dan tidak tersentuh. Sistem kekuasaan masih belum berkehendak untuk merelakan diri membuka proses kebenaran sejarah atas kisah masa lalu yang masih gelap. Penanganan yang tidak menyentuh prinsip keadilan bagi 'korban' politik 1965 - 1966 adalah gambaran nyata atas kecenderungan politik yang masih tertutup. Yang berkuasa terlalu enggan untuk membuka masa lalu sebagai masa lalu yang memang pernah hadir di Indonesia.
Tragedi 1965 -1966 adalah babak yang cukup penting untuk dilihat dan dikisahkan kembali. Bukan persoalan siapa yang akan menang dan kalah tetapi membangun sikap kedewasaan bersama untuk melihat kembali masa lalu secara jujur. Menuturkan kembali yang sudah lewat secara kritis merupakan langkah menempatkan sejarah masa lalu pada tempatnya yang pantas sesuai dengan fakta kenyataan yang selurus-lurusnya. Meskipun proses ini seringkali sulit, inilah pintu dasar untuk keluar dari penjara masa lalu. Sebuah modal berharga untuk menjalani masa depan dengan spirit rekonsiliasi yang sebenarnya. Luka kolektif masa lalu yang ditutup-tutupi justru penghambat terbesar untuk membangun fondasi sejarah yang penuh keadaban.

Merenungkan tragedi politik secara jernih, mengajak semua untuk mengingat kembali setiap torehan sejarah dengan penuh empati. Berempati karena begitu mendalam dan kontroversialnya sejarah ini terbangun. Rentang waktu kontroversial ini belum berakhir. Narasi resmi tentang kisah penyelamatan tetap saja bertahan di antara narasi-narasi kecil korban yang berserakan. Sebagai sebuah babak, 1965 adalah transisi politik yang banyak mengisahkan sang korban, terkhusus bagi mereka yang saat ini masih tetap tertawan dalam trauma kolektif.
Fakta masa lalu menjadi lembaran kisah terbesar bangsa yang penuh luka dan kegetiran; tragedi terbesar dengan sekian banyak korban dan sekian banyak ratapan, trauma kolektif dan kengerian. Empat puluh tahun lebih telah berlalu, namun peristiwa tersebut seakan sulit menghilang dan kian membekas bersama-sama dalam memori kolektif bangsa. Bangsa tetap belum beranjak dari posisi semula. Belum terlihat komitmen dan kehendak bersama bahwa rekosiliasi dan pelurusan sejarah adalah sesuatu yang teramat penting.

Ingatan masa lalu yang hidup dalam kuatnya sistem normalisasi dan pengawasan membuat sekian banyak korban masih beku dan tak bersuara. Mereka terbungkam, ketakutan dan kadang putus asa. Suara mereka tenggelam dalam kesenyapan. Kejujuran dan keberanian bertutur harus berhadapan dengan prasangka dan stigma. Segala sifat buruk masih ditempelkan kepada mereka. Labelisasi ini bahkan mengakar dan terserap dalam bawah sadar masyarakat. Masyarakat terdorong untuk tidak hanya phobia tetapi sekaligus terdidik untuk menyemai siklus kebencian. Alih-alih memperjuangkan korban, berdekatan dengan mereka adalah aib dan pelanggaran moral dan politik. Bisa-bisa justru akan menyeret kepada banalitas politik “kambing hitam”. Entah kenapa, inilah kenyataan yang tetap bertahan.

Stigma mudah diserap menjadi kesadaran dan membentuk perilaku. Dekat dengan para korban sama berarti mencipta kesulitan bagi diri sendiri. Lebih parah lagi akan dicap dan terkatagori sebagai musuh yang harus dicurigai. Inilah malapetaka bagi siapa yang dekat dengan para korban. Nalar pikir ketakutan dan kebencian inilah yang tersemai dalam iklim penyeragaman bahasa, wacana dan tradisi bertutur masyarakat. Kalau tidak mau sulit maka lebih baik diam.
Represi atas ingatan selanjutnya secara sublim membangun ekspresi-ekspresi prasangka. Stigma mendapat lahan basahnya pada kesadaran masyarakat yang ditekan luar biasa untuk bungkam dan tidak bersuara. Kepatuhan pada penyeragaman diskursus membudidayakan kesadaran nomenklatura yang tertutup. Sang korban menjadi “si liyan” yang tidak hanya terikat kontrol dan pengawasan namun sekaligus terpenjara dalam kepungan label negatif yang harus ditanggung.

Penanganan para korban terbatas pada keinginan dan kehendak negara secara sepihak. Suara-suara korban belum diberi tempat sepantasnya. Ruang sejatinya sejarah hanya ada pada masa lalu yang sudah direpresentasikan penguasa. Negara leluasa menguasai ingatan masa lalu korban dengan cara pandang yang seragam. Korban dipaksa untuk selalu mengingat sesuatu yang menjadi kebenaran sejarah dalam perspektif penguasa. Korban sekaligus dipaksa untuk melupakan ingatan tentang kebenaran sejarah yang seharusnya dimiliki.

Di sisi lain, tak satu pun pelaku bersuara. Mereka enggan untuk terbuka memaparkan masa lalunya. Ruang politik yang masih tertutup, membuat para pelaku (represorer) masih bebas berkeliaran tidak tersentuh hukum. Tidak hanya diam dan berkelit, dalam ruang-ruang kekuasaan yang dimiliki, mereka meneguhkan diri sebagai penentu kebenaran sejarah. Masa lalu disembunyikan dalam kamar penyimpanan yang tertutup rapi. Membukanya dikawatirkan akan membangun gejolak politik yang tidak menyenangkan bagi pelaku dan penguasa.
Membuka sejarah masa lalu bisa menjadi bumerang dan keruntuhan legitimasi. Banyak dari pelaku tentu tidak menginginkan pil rasa pahit akibat keterbukaan masa lalu. Minimal, kondisi inilah yang membuat upaya apapun untuk mengangkat nasib korban tersendat dan terpuruk.


“Kekuasaan memberikan banyak kemewahan bagi manusia, tetapi dua tangan yang bersih jarang termasuk di dalamnya” (M Tullius Tiro)

Setelah pemerintahan totaliter runtuh di Argentina, tahun terpenting di negara itu terjadi pada 1984. Sebuah komisi untuk orang hilang (CONADEP) yang dibentuk oleh presiden terpilih, Alfonsin telah menerbitkan sebuah laporan resmi tentang berbagai investigasi kesaksian para korban kekejaman luar biasa selama rezim Junta Militer Argentina berkuasa dari tahun 1976 hingga 1983. Sebuah dokumentasi berharga tentang fakta-fakta atas kebijakan politik teror kekuasaan. Sebuah langkah berani dari pemerintahan yang demokratis pasca Junta Militer di Argentina. Dalam dokumen yang diberi nama 'Nunca Mas' ( Tidak Akan Terulang Lagi), ditunjukkan berbagai kekejaman masa lalu yang dilakukan oleh rezim Junta Militer. Langkah itu telah membuka mata seluruh dunia tentang masa lalu yang gelap di Argentina.

Keberanian korban untuk bersaksi atas kebenaran sejarah tersebut merupakan awal langkah upaya pemulihan korban. Dari kesaksian itu dirumuskan beberapa kebijakan seperti reparasi dan rehabilitasi korban. Banyak kebijakan dan undang-undang berhasil dibentuk untuk memberi kemerdekaan politik dan sekaligus kesejahteraan korban. Ingatan masa lalu berhasil ditangkap menjadi kesadaran untuk pembenahan sistem politik ke depan. Sebuah tragedi tentang teror dan penindasan telah diungkap di Argentina untuk meluruskan sejarah dan mengawal transisi politik meskipun belum menjangkau keseluruhan cita-cita dari upaya rekonsiliasi korban. Dalam pengalaman Argentina, masa lalu masih terus tertawan. Masa lalu seringkali masih diletakan sebagai beban sejarah. Usaha CONADEP memang bisa menolong sebuah keterbukaan politik dan membantu para korban memahami sejarahnya, meskipun dalam batas tertentu masih belum memenuhi hak keadilan korban.

Dasawarsa terakhir, terobosan politik dan langkah kebijakan di Argentina dalam beberapa intensitas dan kualitas berbeda juga berlangsung di beberapa negara. Kemajuan ini telah berhasil menyelesaikan warisan kejahatan masa lalu. Hampir ada kemiripan situasi politik. Untuk penyelesaikan tersebut, telah dibentuk semacam komisi penyelidikan atau 'komisi kebenaran'. Komisi ini secara khusus bertugas untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam kurun waktu tertentu terutama situasi kekejaman yang terjadi dalam rezim lama yang berkuasa. Langkah ini dianggap cukup taktis untuk mengungkap massa lalu.

Afrika Selatan merupakan salah satu contoh negara yang mempunyai pengalaman lebih menarik tentang komisi kebenaran. Pengalaman sejarah kelam apartheid merupakan catatan tergelap bagi Afrika Selatan. Konsistensi dan keberanian politik pasca apartheid untuk membuka babak rekonsiliasi telah menciptakan terobosan penting. Komisi kebenaran telah berhasil dipakai sebagai cara untuk melakukan pembenahan sejarah secara menyeluruh bagi Afrika Selatan. Pada kasus Afrika Selatan, amnesti politik bisa dan berhasil diberikan secara individual terhadap para pelaku pelanggaran kemanusiaan di Afrika Selatan. Sebagai sebuah syarat mendapatkan amnesti tersebut, seseorang harus mendaftarkan diri dan membeberkan seluruh detil kejahatan mereka kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Dalam prosesnya, kasus di Afrika Selatan cukup menarik. Mereka tidak sepenuhnya mengandalkan pada amnesti dan Komisi Kebenaran semata. Komisi Kebenaran berhasil mendorong ribuan orang untuk mengakui kejahatan mereka pada masa apartheid. Sistem pengadilan yang masih dianggap bermasalah menyebabkan banyak orang lebih percaya kepada Komisi Kebenaran itu. Kepercayaan dan keterbukaan pada hakikatnya adalah modal penting untuk membangun rekonsiliasi. Komisi Kebenaran sekaligus bisa membangun autoritas untuk menciptakan ruang yang tepat untuk semua orang yang dipinggirkan oleh sejarah untuk bersaksi. Komisi Kebenaran sekaligus menjadi media yang tepat bagi pengakuan para pelaku.

Keberanian membuka pengakuan merupakan tradisi moral untuk merombak sistem impunitas yang sering diperoleh para pelaku kejahatan kemanusiaan di Afrika Selatan. “Memaafkan tanpa melupakan” adalah prinsip dasar moral yang dipakai sebagai semboyan dalam membangun rekonsiliasi dan pelurusan sejarah. Prinsip-prinsip inilah yang membentuk warna rekonsiliasi menjadi hidup. Afrika Selatan adalah contoh kasus yang bisa menempatkan masa lalu yang berdamai dengan cita-cita masa depan. Sejarah kekelaman bisa menjadi bahan reflektif berharga untuk membangun fondasi sistem yang lebih kokoh. Sebuah sistem hidup bernegara yang tidak didasari kepura-kepuraan dan kebohongan. Sebaliknya, Afrika Selatan yang baru adalah negeri yang menghargai ketulusan, penghargaan dan etos tanggung jawab.

Berbeda jauh dengan Argentina maupun Afrika Selatan dalam menyikapi pentingnya pelurusan sejarah dan langkah penanganan para korban akibat kejahatan kemanusian, Indonesia mempunyai cerita sebaliknya. Upaya pelurusan sejarah masih berjalan di tempat. Perjuangan para korban politik kejahatan kemanusiaan masih membentur tembok penghalang politik yang tinggi dan tebal. Kekuasaan politik masih bebal dan enggan untuk membuka pintu. Tidak ada keberanian dan kerendahan hati negara untuk menyelesaikan masalah-masalah kemanusian yang pernah terjadi. Cita-cita untuk pelurusan sejarah tenggelam dan menguap begitu saja. Masih sangat jauh untuk mengatakan bahwa kebijakan politik sudah terbuka untuk kebenaran sejarah. Deretan kasus dari tahun 1965 sampai saat ini tidak kunjung menghasilkan warna terang. Perjuangan korban tersendat oleh sikap dan kebijakan politik yang sampai saat ini masih belum berpihak.


Sumber : http://ureport.vivanews.com/news/read/59675-membungkam_sejarah_korban__i_
Share
Rasya Consultant

Comments

0 comments to "Membungkam Sejarah Korban"

Post a Comment

 

Copyright © by Bloganol Template Reedit Blogger Template by Nugroho Hadi Kumoro